Kisah Toyyib ingin Berangkat ke Tarim
"Kisah Toyyib ingin Berangkat ke Tarim . Ayahnya seorang petani. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang terkadang mengabdi sebagai panitia pengajian ibu-"
Ayahnya seorang petani. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang terkadang mengabdi sebagai panitia pengajian ibu-ibu muslimatan. Muncul keinginan dalam hatinya untuk belajar ke Tarim saat sang ibu berkata ingin punya anak yang alim. Kekagumannya pada Habib Umar muncul saat mendengar cerita kesabaran beliau, dimana ayah beliau diculik oleh orang-orang Komunis dan tidak diketahui sampai saat ini. Setiap kali mendengar kisah pilu itu, Toyyib selalu menangis.
.
.
Toyyib putus asa saat tahu bahwa biaya awal ke Tarim kala itu cukup mahal, sekitar 20 juta. Ibunya menjadi satu-satunya penyemangat kala itu. Sang ibu berusaha mencari dana. Terkumpulah 20 juta. 10 juta adalah hutang. 10 juta sisanya adalah hasil menjual tanah milik keluarga. Masalah kiriman di Tarim, kata ibunya, insyaallah akan diusahakan setiap sawah panen.
.
.
Akhirnya Toyyib menuju Solo, Jawa tengah untuk mengikuti dauroh dan tes agar bisa berangkat ke Tarim. Sesampainya disana, ia putus asa. Karena beberapa kitab yang diajarkan disana, berbeda dengan ia pelajari di pondoknya sebelumnya. Ia merasa tidak mampu, ia mengirim sms pada ibunya bahwa ia ingin pulang. Tapi sekali lagi, ibunya menjadi satu-satunya penyemangat kala itu. "Jangan pulang dulu ! Ibu yakin kamu lulus, Nak !" Kata ibunya. Setelah sebulan disana, akhirnya Toyyib masuk daftar santri yang lulus dan bisa segera berangkat ke Tarim.
.
.
10 hari sebelum hari H, Toyyib bersikap aneh : ia agak menjauh dari keluarganya, padahal saat itu ibunya selalu mengajak kumpul bersama. Tapi ia punya tujuan lain, ia menjauh agar mereka tidak terlalu bersedih saat berpisah 10 hari lagi, agar terbiasa. Padahal kala itu, hatinya tak kuasa ingin bersama keluarga setiap waktu.
.
.
Saat hari keberangkatan ke Tarim, Toyyib adalah orang dengan uang paling sedikit. Yang ada di sakunya hanya sekitar 1 juta, sebagai uang saku di Tarim dalam jangka waktu lama. Uang itu pun masih ia tukar dalam bentuk pecahan, kemudian diletakkan di tempat terpisah : ada yang di saku kanan, saku kiri, dompet, dalam kaos kaki kanan dan kaos kaki kiri. Toyyib berspekulasi, jika satu dicuri orang, maka masih ada cadangan karena yang lain tidak hilang.
.
.
Toyyib putus asa saat tahu bahwa biaya awal ke Tarim kala itu cukup mahal, sekitar 20 juta. Ibunya menjadi satu-satunya penyemangat kala itu. Sang ibu berusaha mencari dana. Terkumpulah 20 juta. 10 juta adalah hutang. 10 juta sisanya adalah hasil menjual tanah milik keluarga. Masalah kiriman di Tarim, kata ibunya, insyaallah akan diusahakan setiap sawah panen.
.
.
Akhirnya Toyyib menuju Solo, Jawa tengah untuk mengikuti dauroh dan tes agar bisa berangkat ke Tarim. Sesampainya disana, ia putus asa. Karena beberapa kitab yang diajarkan disana, berbeda dengan ia pelajari di pondoknya sebelumnya. Ia merasa tidak mampu, ia mengirim sms pada ibunya bahwa ia ingin pulang. Tapi sekali lagi, ibunya menjadi satu-satunya penyemangat kala itu. "Jangan pulang dulu ! Ibu yakin kamu lulus, Nak !" Kata ibunya. Setelah sebulan disana, akhirnya Toyyib masuk daftar santri yang lulus dan bisa segera berangkat ke Tarim.
.
.
10 hari sebelum hari H, Toyyib bersikap aneh : ia agak menjauh dari keluarganya, padahal saat itu ibunya selalu mengajak kumpul bersama. Tapi ia punya tujuan lain, ia menjauh agar mereka tidak terlalu bersedih saat berpisah 10 hari lagi, agar terbiasa. Padahal kala itu, hatinya tak kuasa ingin bersama keluarga setiap waktu.
.
.
Saat hari keberangkatan ke Tarim, Toyyib adalah orang dengan uang paling sedikit. Yang ada di sakunya hanya sekitar 1 juta, sebagai uang saku di Tarim dalam jangka waktu lama. Uang itu pun masih ia tukar dalam bentuk pecahan, kemudian diletakkan di tempat terpisah : ada yang di saku kanan, saku kiri, dompet, dalam kaos kaki kanan dan kaos kaki kiri. Toyyib berspekulasi, jika satu dicuri orang, maka masih ada cadangan karena yang lain tidak hilang.
.
.
Dengan kesederhaan ini, Toyyib bertahan di Tarim sampai hari ini sebagai santri tahun ke 5 di Darul Mustofa, asuhan sayyidil Habib Umar bin Hafidz. Ia tetap bisa belajar, ngaji serta beriziarah makam para wali tiap minggunya, tanpa ada halangan apapun. Kirimannya memang dibawah rata-rata, tapi alhamdulillah rezeki selalu ada. Kiriman orang tuanya tidak tentu ada. Tapi tak disangka, ada sahabat baik ayahnya, seorang juragan jagung, yang terkadang mengirim uang tanpa sepengetahuan orang tuanya. Ia juga punya keahlian memijat. Ia tidak memasang tarif, tapi santri atau asatidz yang minta dipijat, lumrahnya memberi uang. Ia akan menerima, meskipun tetap akan berpura-pura menolak pada awalnya. Masalah hutang 10 juta, alhamdulillah sudah lunas sejak 1 minggu pertama ia di Tarim. Saat itu ibunya menelpon "Nak ! Hutang 10 juta-nya sudah lunas. Ibu heran juga. Ada aja orang yang mau ngasi sedekah."
.
.
Tarim adalah anugerah yang diberikan Allah SWT pada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, terlepas dari status sosialnya, terlepas dari status miskin dan kaya. Tekad dan kesungguhan yang tinggi dalam mencari ilmu dan mengambil berkah dari kota ini, adalah pintu utamanya. Belajar di Tarim bukan tentang berapa harta yang kita punya, tapi tentang tekad, cinta dan kerinduan dalam hati kita. Toyyib adalah salah satu kawan saya yang berhasil membuktikan bahwa mencintai para kekasih Allah tak akan berujung hampa, tak akan sia-sia. Membuktikan bahwa harta bukanlah penentu segalanya. Serta membuktikan bahwa tekad, usaha, serta doa dan nasehat seorang ibu adalah komposisi sempurna untuk menggapai setiap tujuan.
.
.
Tarim, 11 Februari 2021
.
.
Tarim adalah anugerah yang diberikan Allah SWT pada hamba-hamba yang dikehendaki-Nya, terlepas dari status sosialnya, terlepas dari status miskin dan kaya. Tekad dan kesungguhan yang tinggi dalam mencari ilmu dan mengambil berkah dari kota ini, adalah pintu utamanya. Belajar di Tarim bukan tentang berapa harta yang kita punya, tapi tentang tekad, cinta dan kerinduan dalam hati kita. Toyyib adalah salah satu kawan saya yang berhasil membuktikan bahwa mencintai para kekasih Allah tak akan berujung hampa, tak akan sia-sia. Membuktikan bahwa harta bukanlah penentu segalanya. Serta membuktikan bahwa tekad, usaha, serta doa dan nasehat seorang ibu adalah komposisi sempurna untuk menggapai setiap tujuan.
.
.
Tarim, 11 Februari 2021
By : @ibrahim.alkhalilie